Peneliti Sebut Gempa Ambon Setara Bom Hiroshima saat Perang Dunia II
Dikutip drai lipyam6.com, Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) menyatakan status gempa tektonik magnitudo 6,5 skala richter (SR) yang melanda Pulau Ambon dan sekitarnya pada Kamis, 26 September 2019 akan semakin aman, karena kekuatan goncangan gempa susulan semakin mengecil.
“Itu after shock, seharusnya semakin aman meskipun getarannya masih terasa sampai jam lima sore ini terhitung sudah 597 kali gempa susulan, tapi magnitudonya sudah semakin kecil setelah gempa pertama,” kata Kepala P2LD-LIPI Nugroho Dwi Hananto di Ambon, Minggu (29/9/2019) dilansir Antara.
Ia menjelaskan, dalam studi tentang kegempaan, kekuatan yang dikeluarkan oleh gempa tektonik susulan pasti lebih kecil dari gempa utama. Karena sebagian besar energi yang dihasilkan oleh pergeseran bidang patahan-patahan bumi yang menjadi sumber gempa sudah dilepaskan.
Gempa-gempa susulan di Pulau Ambon dan sekitarnya yang masih terus terasa hingga hari ini, merupakan proses normal pergerakan bidang patahan bumi saat melepaskan energi yang tersisa untuk mencari keseimbangan.
Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak panik dan risau dengan gempa-gempa susulan yang masih terasa.
Tetapi untuk korban dampak gempa yang rumahnya retak disarankan agar tidak berada lama di dalamnya, sebab bisa saja roboh akibat goncangan gempa.
“Semakin banyak gempa susulan malah semakin bagus karena energinya semakin meluruh, yang dilepaskan sekarang adalah sisa-sisa energi. Melepaskan 100 kali gempa dengan magnitud lebih kecil lebih baik daripada satu kali gempa 6,5 SR, karena skala lima sampai enam itu 1.000 kali magnitudnya,” ucap Nugroho.
Ahli geologi itu mengatakan magnitudo gempa tektonik 6,5 SR yang terjadi di Ambon jika disetarakan dengan satu kilogram bahan peledak atau trinitrotoluena (TNT), maka skalanya setara dengan satu miliar kilogram bahan peledak, hampir sama dengan skala bom atom yang dilepaskan tentara sekutu di Hiroshima saat Perang Dunia II.
“Gempa 6,5 SR rata-rata terjadi di dunia sekitar 20 hingga 40 kali setahun. Kalau skalanya disetarakan dengan bahan peledak, maka kita seperti dibom di Hiroshima saat Perang Dunia II, efeknya seperti gempa 6,5 SR yang terjadi kemarin,” ujarnya.