Perkawinan Anak Masuk Kategori Darurat, Bappenas Susun Stranas Upaya Pencegahan Bersama
Penurunan angka perkawinan anak merupakan salah satu target dalam RPJMN 2020-2024 dan tujuan kelima dalam Sustainable Development Goals SDGs. Sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, Kementerian PPN/Bappenas menyusun sebuah Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), yang kemudian menjadi pedoman bagi berbagai pihak, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sejauh ini telah dilaksanakan audiensi dengan K/L terkait dan rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dengan tema layanan pencegahan perkawinan anak, peran tokoh agama dan organisasi masyarakat sipil, serta peran anak muda. Untuk menyempurnakan dokumen ini, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan Uji Publik Dokumen Stranas PPA.
Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Hak-hak dimaksud, yakni hak anak untuk memperoleh pendidikan, layanan kesehatan, hidup yang bebas dari kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi, terutama anak perempuan, serta hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tua. “Perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar anak yang tercantum dalam KHA. Hak anak menjadi terampas dan terabaikan oleh perkawinan anak," ujar Subandi saat membuka Uji Publik Dokumen Stranas PPA, di Jakarta, Rabu (18/12).
Menurut Subandi, banyak dampak negatif dari perkawinan anak, seperti angka kematian bayi yang tinggi. Bayi lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari, 1,5 kali lebih besar dibandingkan ibu berusia 20-30 tahun. Tumbuh kembang anak juga terganggu, di mana 1 dari 3 balita mengalami stunting. Perkawinan dan kelahiran di usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting. Angka kematian ibu juga turut meningkat disebabkan komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. Terkait pendidikan, anak perempuan yang kawin sebelum usia 18 tahun, 4 kali lebih rentan untuk menyelesaikan pendidikan menengah. Selain itu, kemiskinan intergenerasi yang disebabkan praktik perkawinan anak. “Perkawinan anak merupakan masalah sosial yang telah memasuki tahap darurat. Kedaruratan itu juga terletak pada posisi praktik perkawinan anak yang masih diterima, dianggap biasa, bahkan dibenarkan atau bahkan dianggap sebagai penyelesaian masalah, diperbolehkan menurut pandangan tradisi, adat istiadat, dan keyakinan,” jelas Subandi.
Menurut Subandi, pemerintah terus bergerak maju untuk membenahi segala kekurangan yang ada. Salah satu strategi dalam RPJMN 2020-2024 yang akan dilakukan adalah penguatan upaya pencegahan berbagai tindak kekerasan pada anak, termasuk perkawinan anak. Kemudian penurunan angka perkawinan anak menjadi salah satu indikator target RPJMN 2020-2024, yaitu dari 11,2 persen pada 2018 menjadi 8,74 persen di 2024. “Selain itu di level grassroot, lembaga non- pemerintah dan mitra pembangunan telah menginisiasi berbagai program untuk mencegah perkawinan anak, baik dalam aspek penguatan regulasi dan kapasitas pemberilayanan, maupun peningkatan pemahaman bagi masyarakat,” jelasnya.
Banyak kemajuan yang telah ditunjukkan pemerintah dalam melaksanakan KHA, seperti pengesahan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974, dimana diamanatkan peningkatan usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. KHA merupakan wujud nyata atas upaya perlindungan terhadap anak. Indonesia juga telah meratifikasi KHA pada 1990. Pada Konvensi PBB, tentang Hak Anak Pasal 27 tertulis, negara-negara peserta mengakui hak setiap anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.