FGD BPP: Menanti Solusi Pemda Mendorong Kemajuan Kawasan Ekonomi Khusus

SHARE

Dikutip dari litbang.kemendagri.go.id, Kebijakan ekonomi kawasan dalam sejarah perekonomian di Indonesia cukup beragam. Meskipun demikian, pembangunan dari kebijakan ekonomi kawasan di Indonesia masih bermasalah. Begitu juga dengan yang terjadi pada kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Bisa disimpulkan dari 15 KEK yang ada di Indonesia saat ini belum ada satu pun yang dianggap membanggakan termasuk KEK pariwisata. Sampai saat ini, KEK Pariwisata masih terkendala infrastruktur, penyediaan lahan, serta  belum didukung oleh skema insentif yang komprehensif. Akhirnya nilai investasi KEK jauh dari target dan belum berkontribusi besar pada perekonomian nasional.

Misalnya, Sejak diresmikan pada 2014 lalu, KEK Tanjung Lesung belum terlihat kemajuan yang siginfikan. Tingkat kunjungan wisatawan ke KEK Tanjung Lesung menunjukkan persentase penurunan. Begitu juga dengan KEK Mandalika, meski KEK Mandalika merupakan KEK pariwisata yang progresif, namun juga tidak lepas dari permasalahan seperti pembebasan lahan dan masalah lainnya.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), melalui Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah melakukan kajian aktual mengenai kedua KEK Tersebut.

Menurut Kepala Puslitbang Pembangunan dan Keuda Horas Maurits Panjaitan, penelitian tersebut diarahkan pada dua KEK yang telah beroperasi lebih dari dua tahun dengan jenis bisnis yang sama, yakni KEK Mandalika dan KEK Tanjung Lesung. KEK Mandalika telah ditetapkan pada 2015 dan telah masuk dalam tahapan pengoperasian pada 2017, sedangkan KEK Tanjung Lesung telah ditetapkan pada 2012 dan masuk dalam tahapan pengoperasian pada 2015.

“Untuk itu, sangatlah perlu untuk melakukan telaah akan kebijakan apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendorong kemajuan KEK. Demikian juga untuk ke depan, kebijakan apa saja yang bisa dioptimalkan untuk mendorong kemajuan KEK, termasuk sumber daya dan kapabiltias yang diperlukan. Hal ini menjadi penting, karena Kementerian Dalam Negeri merupakan salah satu anggota Dewan KEK yang merupakan pembina dan pengawas umum kinerja pemerintah daerah di KEK,” ucap Maurits dalam acara Kelompok Diskusi Terfokus pada Kamis 12/3 di BPP Kemendagri.

Temuan penelitian

Menurut Peneliti BPP Kemendagri Ray Ferza kendala utama KEK Tanjung Lesung adalah aksesibilitas jalur masuk ke kawasan yang memakan waktu tempuh cukup jauh hingga 7 jam perjalanan. Padahal toleransi jalur pariwisata adalah 2 jam perjalanan. Di sisi lain, kawasan ekonomi seperti KEK pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama seperti insentif fiskal. Pemerintah sering mengalami dilematis mengenai potential loss penerimaan negara dari sektor pajak bila memberikan pembebasan pabean maupun keringanan perpajakan.

“KEK Tanjung Lesung juga dihadapkan pada permasalahan lahan yang hingga saat ini belum sepenuhnya dikuasai. Menurut beberapa informasi dari 1.500 hektare lahan, baru 1.430 hektar bisa dikuasai. Sekira 70 hektar masih terkendala pembebasan lahan,” terang Ray.

Sama halnya dengan Tanjung Lesung, menurut Ray tata cara penggunaan fasilitas insentif daerah di KEK Mandalika juga belum diatur secara rinci sehingga menjadi sulit untuk dilaksanakan. Selain itu, akuisisi lahan untuk kepentingan ekonomi memang menjadi masalah utama hampir pada seluruh daerah di Indonesia. Kasus-kasus restriksi masyarakat lokal terhadap pembangunan penyelenggaraan KEK Mandalika, antara lain penolakan penggunaan lahan di Desa Kuta untuk pembangunan sirkuit Moto GP.

“Restriksi juga terjadi ketika penyelenggaraan KEK Mandalika membutuhkan jaringan transportasi bus dari dan menuju KEK Mandalika. Masalah lainnya adalah belum ada identifikasi khusus untuk menyelenggarakan perizinan KEK via Open Single Submission (OSS), malah cenderung diperlakukan sama dengan perizinan diluar KEK,” ucapnya.

Harus dilakukan daerah

Natasha Dini Chrisyanti (Tim Sekretariat Dewan Nasional KEK) menyatakan hal yang sama. Menurutnya banyak yang sudah dilakukan pemerintah pusat terkait dukungan kemudahan dan fasilitas bagi pelaku usaha di dalam kawasan KEK. Tetapi tidak diimbangi oleh kebijakan di daerah.

Natasha berharap pemerintah memberikan dukungan seperti perda insentif. perpajakan, dan retribusi. Selain itu ia menyarankan pemda agar membuat regulasi terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah penyangga. Hal ini untuk mengantisipasi pembangunan yang secara massif dilakukan masyarakat, serta untuk mengatasi urban sprawl di masa mendatang. Aturan mengenai RTRW di kawasan penyangga juga penting agar kawasan penyangga bisa tertata dengan baik dan juga sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya kawasan kumuh. Pemerintah juga perlu mengatur limbah di kawasan penyangga agar tidak langsung dibuang ke laut, sehingga bisa mencemari dan menghilangkan daya tarik wisatawan.

Natasha berharap peningkatan intensitas kordinasi Dewan Kawasan yang berada di bawah provinsi, dengan Administrator KEK yang berada di bawah kabupaten perlu dilakukan. “Kami menyayangka Dewan Kawasan selama ini belum bisa membantu Dewan Nasional. Beberapa Dewan Kawasan tidak mengiventarisasi isu-isu stratgis yang ada di lapangan. Padahal ketika ada permasalahan di lapangan, sebenarnya banyak yang bisa di selesaikan di Dewan Kawasan. Kenyataannya, beberapa permasalahan di Administrator atau di daerah langsung mengadu ke Dewan Nasional.

Melengkapi pernyataan Natasha, Maxensius Tri Sambodo Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpendapat, setidaknya ada tiga karakteristik penting yang membedakan KEK dengan kawasan ekonomi lainnya. Pertama, KEK harus diberikan keringanan dalam kebijakan tarif dan pajak. Dengan kebijakan tersebut, pengusaha tidak akan kesusahan ketika mengurus izin. Kemudian KEK harus didukung dengan infrastruktur yang superior atau akses yang ekslusif. Ketiga, perizinan yang sangat mudah dan prosedur administrasi yang sederhana. “Jika ketiga hal tersebut tidak ada, itu omong kosong,” kata Max.

Rekomendasi penelitian

Penelitian mengenai KEK tersebut menyimpulan beberapa hal di antaranya; Kementerian Dalam Negeri selaku Anggota Dewan Kawasan perlu duduk bersama 5 direktorat terkait KEK, untuk merumuskan peran minimal yang perlu dilakukan oleh Pemda dalam mendorong pembangunan KEK. Dengan demikian Menurut Max, positioning Kemendari akan semakin jelas dan tegas.

“Misalnya peran minimal pemerintah daerah. Kemendagri harus memberi solusi paling tidak, ada arahan terkait infarastruktur tata ruang, sumber daya manusia, perizinan, serta insentif,” terangnya.

Selanjutnya Kemendagri harus mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk merumuskan bentuk-bentuk insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih tepat untuk KEK Pariwisata, misalkan terkait dengan besaran modal usaha. Selanjutnya adalah mengusulkan kepada BKPM untuk membuat menu khusus OSS bagi investor di KEK.

“Terakhir mungkin bisa dilakukan adalah meninjau kembali PP No 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah, khususnya dalam mendukung kelembagaan KEK yang profesional. Artinya kesepakatan bersama posisi Adminstratur KEK seperti daya tahan dari pengaruh politik, harus profesional dan tidak punya beban politik,” tutupnya.

Berbicara KEK pariwisata tidak akan pernah lepas dari identitas lokal di sebuah kawasan di mana KEK berdiri. Identitas lokal merupakan ciri khas yang harus dipertahankan. Jangan sampai, ketika kompetisi bisnis di KEK semakin kuat, karakteristik di suatu daerah dan kearifan lokal justru tidak dilindungi bahkan dilupakan. Peran pemerintah daerah menjadi penting agar kearifan lokal bisa berapadu dengan modernitas.