Badan Litbang Kemendagri Dorong Peningkatan Pengelolaan Publikasi Ilmiah

SHARE

Dikutip dari litbang.kemendagri.go.id- Keberadaan publikasi ilmiah yang berkualitas menjadi salah satu indikator kemajuan suatu negara. Melalui publikasi ini, berbagai hasil kelitbangan dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga kemanfaatannya lebih maksimal. Di sisi lain, keberadaannya menjadi tolok ukur produktivitas kegiatan kelitbangan. Publikasi ilmiah ini juga berperan untuk mendukung karier jabatan fungsional, baik dosen, peneliti, maupun akademisi. Di tingkat Asia, pada 2019 Indonesia sendiri mampu menempati urutan ke-5 sebagai negara penghasil publikasi ilmiah terbanyak.

Sebagai salah satu unit kerja yang membina jabatan fungsional peneliti di Kemendagri dan pemerintah daerah, Badan Litbang Kemendagri memiliki perhatian terhadap keberadaan publikasi ilmiah, salah satunya melalui jurnal elektronik. Badan Litbang Kemendagri mencatat, pada Agustus 2020 ada sebanyak 385 peneliti yang tersebar di Badan Litbang Kemendagri dan pemerintah daerah. Jumlah tersebut mesti ditopang dengan keberadaan publikasi ilmiah yang andal baik secara kuantitas maupun kualitas. Meski tak sedikit pemerintah daerah memiliki jurnal ilmiah, tetapi di sejumlah aspek kondisinya masih perlu ditingkatkan.

Menyadari pentingnya keberadaan publikasi ilmiah, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (Litbang Kemendagri) menggelar diskusi bertajuk “Strategi Peningkatan Publikasi dan Tata Kelola Jurnal Ilmiah untuk Peningkatan Kinerja Peneliti”, Rabu (19/8/2020). Kegiatan yang digelar secara virtual ini, menghadirkan narasumber Direktur Kekayaan Intelektual Kemenristek/BRIN, Heri Hermansyaah. Para peserta yang tergabung terdiri dari peneliti, akademisi, dan masyarakat umum dari berbagai daerah.

Kepala Badan Litbang Kemendagri, Agus Fatoni menuturkan, saat ini Badan Litbang Kemendagri memiliki dua jurnal elektronik yang terkareditasi Science and Technology Index (Sinta). Sebagai salah satu komponen Kemendagri, Badan Litbang juga melakukan pembinaan kepada daerah termasuk dalam pengelolaan jurnal ilmiah.

Fatoni berharap, kegiatan diskusi tersebut menjadi wadah komunikasi dan berbagi pengalaman antar pengelola Jurnal di seluruh Indonesia. “Mari Bersama berkolaborasi dalam mewujudkan jurnal ilmiah yang berkualitas sebagai wahana komunikasi ilmiah di antara peneliti, akademisi, dan masyarakat pengguna untuk mencapai sasaran, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan memenuhi kebutuhan pembangunan di Indonesia,” ujarnya.

Akreditasi jurnal

Pengelolaan jurnal ilmiah yang andal tidak terlepas dari capaian akreditasinya. Saat ini akreditasi tersebut berada di bawah pengelolaan Kemenristek/BRIN memalui pengindeks Sinta. Heri menjelaskan, bagaimana proses akreditasi itu dilakukan.

Disebutkan, ada delapan aspek yang perlu diperhatikan bagi pengelola jurnal yang hendak mengajukan akreditasi. Pertama, jurnal tersebut diharuskan memiliki Electronic International Standard Serial Number (EISSN). Kedua, memiliki pengenal objek digital (DOI). Ketiga, jurnal harus bersifat ilmiah, artinya memuat artikel yang didasarkan pada hasil penelitian, perekayasaan, dan/atau telaahan, mengandung temuan, pemikiran orisinil, serta tidak plagiat.

Keempat, jurnal minimal diterbitkan dua tahun secara berurutan terhitung mundur mulai tanggal atau bulan pengajuan akreditasi. Kelima, setiap tahunnya jurnal terbit paling sedikit sebanyak dua kali. Keenam, setiap tahun paling sedikit jurnal terbit sebanyak dua kali. Ketujuh, masing-masing terbitan paling tidak memuat lima artikel. Kedelapan, jurnal yang hendak diakreditasi mesti memiliki profil di Google Scholar.

Para peserta terlihat antusias mengikuti diskusi tersebut. Berbagai pertanyaan mengalir dari berbagai peserta. Bahkan, wacana peningkatan kerja sama pun sempat mencuat. (MJA)